Komunikasi sebagai salah satu disiplin ilmu sosial mulai
berkembang di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an. Tokoh-tokoh yang
dianggap pertama kali melakukan studi tentang komunikasi manusia adalah Harold
Lasswell, Paul Lazarsfled, Kurt Lewin, dan Carl Hovland.2 Meskipun komunikasi sebagai satu disiplin ilmu kehadirannya belum lama,
tetapi perkembangannya begitu pesat, baik sebagai satu disiplin ilmu maupun
sebagai skill.
Secara
akademik kajian komunikasi terfokus kepada dua pendekatan
utama, yaitu pendekatan yang memfokuskan kepada konteks situasional di mana komunikasi itu terjadi, dan pendekatan yang memfokuskan kepada
fungsi-fungsi dari komunikasi.3 Dalam konteks situasional, ada enam kajian
utama, yaitu: Interpersonal communication, small group communication, language
and symbolic codes, organizational communication, public communication, dan
mass communication. Sementara itu, dalam konteks fungsi-fungsi komunikasi, di antaranya sosialisasi, negosiasi, konflik,
persuasi, dan sebagainya. Jika ditempatkan pada fokus kajian dan penelitian,
maka komunikasi global dapat diletakkan pada
pendekatan yang kedua, yakni melihat komunikasi dari
sisi fungsinya.
Komunikasi global atau komunikasi
internasional sebagai satu lapangan studi muncul pada abad ke-20, terutama
setelah perang dunia kedua dan memasuki perang dingin. Suasana yang
menye-babkan tumbuhnya kajian komunikasi
internasional, yaitu: Pertama, adanya konflik, perang dan penggunaan propaganda
internasional; Kedua, perkembangan organisasi-organisasi dan diplomasi
interna-sional; Ketiga, penyebaran ideologi dan penggunaan komunikasi untuk menyebarkan pesan-pesan ideologi; Keempat,
perkembangan teknologi komunikasi yang
semakin canggih.4 Perkembangan ini semakin pesat terjadi terutama pada tahun 80-an
di mana telekomunikasi dan teknologi komunikasi
berkembang dengan pesat, munculnya negara-negara maju, dan berkembangnya
organisasi-organisasi internasional.
Dalam
era informasi, teknologi informasi—disebut juga teknologi intelektual—merupakan
kegiatan utama masyarakat. Yang disebut teknologi informasi adalah ways of
gathering, storing, manipulating, or retrieving information. Di situ sarana
telekomunikasi dan komputer memegang peranan strategis dalam melakukan
pertukaran informasi, dan pengetahuan yang sudah diolah, disaring dan
dikeluarkan kembali.
Ketiga,
di dalam dunia politik, kekuatan (power), baik yang bersifat “hard power”,
maupun “soft power”, banyak ditentukan oleh kekuatan yang bersumber dari
teknologi dan jaringan informasi.8 Karenanya, tidak heran apabila Thomas L.
Friedman, wartawan The New York Times mengatakan jika pada masa perang dingin
sebagai warga dunia kita ditakutkan akan adanya serangan nuklir dan perlombaan
senjata. Tetapi, pada masa globalisasi ini, kita lebih khawatir akan serangan
virus komputer, karena virus komputer dapat merusak sistem pertahanan suatu
negara.9
Keempat,
terjadinya konflik budaya dan peradaban. Dengan bergesernya peran negara dalam
percaturan hubungan internasional, maka aspek kebudayaan menjadi dominan dalam
hubungan internasional. Sementara itu, setiap kelompok budaya cenderung
etnosentrik, yakni menganggap nilai-nilai budaya sendiri lebih baik dari pada
budaya lainnya dan mengukur budaya lain berdasarkan rujukan budayanya. Ketika
kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama atau ras lain, kita dihadapkan
dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda. Sulit memahami komunikasi mereka
bila kita sangat etnosentrik. Melekat dalam etnosentrisme ini adalah stereotip,
yaitu generalisasi (biasanya bersifat negatif) atas sekelompok orang (suku,
agama, ras, dsb.) dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.10 Hal ini
juga yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntington tentang adanya clash
civilizations. Mengkaji tentang nilai-nilai dan tradisi yang ada pada Islam
tentunya perlu untuk membongkar dan menganalisis sumber ajaran Islam yang
pokok, yakni al-Qur’an dan Hadis. Di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi terdapat
banyak keterangan berkenaan dengan adanya komunikasi. Dalam hal ini komunikasi
dipahami sebagai sebuah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih
lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda.
Dengan
pemahaman tersebut, dialog antara Jibril dengan Muhammad ketika pertama kali
turun wahyu di Gua Hira dapat dikategorikan sebagai proses komunikasi. Di dalam
dialog tersebut, Nabi yang awalnya tidak memahami apa yang ingin disampaikan
oleh malaikat Jibril, pada akhirnya memahami dan mengikuti apa yang disampaikan
oleh Jibril yang kemudian dikenal dengan wahyu pertama surat al-Alaq ayat 1-5.
Begitu
juga ketika Nabi menyampaikan (menceritakan) peristiwa yang dialaminya kepada
Istrinya dan seorang pendeta dapat dikatakan sebagai proses komunikasi. Betapa
tidak, cerita yang dikisahkan oleh Nabi kepada isteri dan pendeta begitu jelas
dan mendapat respons yang positif dari kedua orang tersebut. Hal ini berarti
ada kesesuaian makna yang bisa ditangkap dari komunikator (Nabi) kepada
komunikan (Khadijah dan Pendeta).
Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang
baru muncul dalam penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini.
Munculnya pemikiran dan aktivisme komunikasi Islam
didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai
pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan
tersebut menimbulkan implikasi negatif terutama terhadap komunitas Muslim di
seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari
negara-negara (Barat) yang menjadi produsen ilmu tersebut.
Ilmu komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini
terutama menyangkut teori dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam tentang komunikasi. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran
mengenai komunikasi Islam ditandai dengan terbitnya
jurnal “Media, Culture and Society” pada bulan Januari 1993 di
London. Ini semakin menunjukkan jati diri komunikasi Islam
yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di belahan
negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu yang
dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang
meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era
pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta
perspektif politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang
dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi
alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu
memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam
perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses
penyampaian atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam Alquran. Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai
proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang
sesuai dengan Alquran dan Hadis. Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh
Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan
historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat
bersifat premature universalism dan naive empirism. Dalam konteks demikian
Majid Tehranian, menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama
implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar
belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world-view
yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik
Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang
kehidupan Muslim.
Dalam aspek perubahan
sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat cenderung bersifat
positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan kepada
keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting untuk
merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan,
kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber, menjadi
aspek penting dalam komunikasi Islam.
Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam
ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship),
antara “Allah, manusia dan masyarakat”.
Dalam Islam prinsip
informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat
value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan
sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam
meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat
aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi.
Di samping menjelaskan
prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika
berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran),
accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam
surah an-Nuur ayat 19 dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
(berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah
mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”. Sehubungan dengan etika kejujuran
dalam komunikasi, ayat-ayat Alquran memberi banyak landasan. Hal ini
diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam surah an-Nahl ayat 116: “Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung”.
Dalam masalah ketelitian
menerima informasi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan check and
recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-Hujurat ayat 6
dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu”.
Menyangkut masalah tanggungjawab dalam surah al-Isra’
ayat 36 dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungjawab-nya”. Alquran juga menyediakan
ruangan yang cukup banyak dalam menjelaskan etika kritik konstruktif dalam
berkomunikasi. Salah satunya tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104: “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung”.
Selain itu, prinsip
komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana tertera dalam surah
an-Nahl ayat 90, berbuat baik (ihsan) dalam surah Yunus ayat 26, melarang
perkataan bohong dalam surah al-Hajj ayat 30, bersikap pertengahan (qana’ah)
seperti tidak tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada surah al-Baqarah ayat
153, tawadu’ dalam surah al-Furqan ayat 63, menunaikan janji dalam surah
al-Isra’ ayat 34 dan seterusnya. Membangun paradigma komunikasi Islam, sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol.
Dasaran sintesisnya dapat menggunakan teori-teori komunikasi konvensional (Barat), namun yang menjadi Homework
bagi para intelektual Muslim adalah membuat sintesis baru melalui aspek
methatheory yang meliputi epistemologi, ontologi dan perspektif. Pembenahan
pada aspek dimensi nilai dan etika harus dapat berkolaborasi dengan ketauhidan
dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi Islam
adalah untuk mewujudkan persamaan makna, dengan demikian akan terjadi perubahan
sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Sedangkan ultimate goal dari
komunikasi Islam adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat yang titik tekannya
pada aspek komunikan bukan pada komunikator.