Seorang
warga Desa Bulu Podosoko Sawangan Magelang trlihat sedang memanjatkan doa di
sebuah makam. Hal tersebut dilakukan dalam rangka tradisi nyadran. Bagi
masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan
ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi
makam para leluhur. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada
bulan-bulan tertentu, seperti menjelang Bulan Ramadhan, yaitu Sya’ban atau
Ruwah.
Nyadran
dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki
kesamaan dengan ritus dengan objeknya. Perbedaannnya hanya terletak pada
pelaksanaannya, dimana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang
memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Hal
senada juga diungkapkan oleh Mbah Adam, 72 tahun, seorang sesepuh yang berasal
dari desa Bulu Podosoko tersebut. Beliau mengatakan, didalam melakukan tradisi
nyadran waktunya ditentukan oleh pihak-pihak yang bekeinginan untuk
melaksanakan ritual nyadran. Beliau menyebut pihak-pihak tersebut dengan
‘paguyuban’.
Tradisi
nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya
lokal dan dengan nilai-nilai Islam, sehingga tampak adanya lokalitas yang masih
kental dengan nuansa Islam. Dijelaskan pula oleh Mbah Adam bahwa nyadran menurut
agama Islam yang diutamakan adalah membaca Qur’an lalu berdoa memohonkan ampun
untuk para leluhur mereka. Tetapi bila dilihat dari sudut pandang kebudayaan
Jawa, nyadran berarti meminta sodaqoh dan meminta rizki dari Tuhan melalui
kegiatan kenduri. Masyarakat percaya bila mereka telah mengeluarkan sodaqoh,
Tuhan akan memberikan ‘hadiah’ yang setimpal. Lalu ‘hadiah’ tersebut mereka
kirimkan kepada para leluhurnya agar dosa-dosanya diampuni oleh Tuhan Yang Maha
Esa dan diberi tempat yang layak disisi-Nya.
Awal
mula Tradisi Nyadran Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan
masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan tersebut.
Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan tradisi nyadran masih
kental dengan budaya Hindu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan
nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar