Senin, 16 Juli 2012

Nyadran


Seorang warga Desa Bulu Podosoko Sawangan Magelang trlihat sedang memanjatkan doa di sebuah makam. Hal tersebut dilakukan dalam rangka tradisi nyadran. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu, seperti menjelang Bulan Ramadhan, yaitu Sya’ban atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dengan ritus dengan objeknya. Perbedaannnya hanya terletak pada pelaksanaannya, dimana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Hal senada juga diungkapkan oleh Mbah Adam, 72 tahun, seorang sesepuh yang berasal dari desa Bulu Podosoko tersebut. Beliau mengatakan, didalam melakukan tradisi nyadran waktunya ditentukan oleh pihak-pihak yang bekeinginan untuk melaksanakan ritual nyadran. Beliau menyebut pihak-pihak tersebut dengan ‘paguyuban’.
Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan dengan nilai-nilai Islam, sehingga tampak adanya lokalitas yang masih kental dengan nuansa Islam. Dijelaskan  pula oleh Mbah Adam bahwa nyadran menurut agama Islam yang diutamakan adalah membaca Qur’an lalu berdoa memohonkan ampun untuk para leluhur mereka. Tetapi bila dilihat dari sudut pandang kebudayaan Jawa, nyadran berarti meminta sodaqoh dan meminta rizki dari Tuhan melalui kegiatan kenduri. Masyarakat percaya bila mereka telah mengeluarkan sodaqoh, Tuhan akan memberikan ‘hadiah’ yang setimpal. Lalu ‘hadiah’ tersebut mereka kirimkan kepada para leluhurnya agar dosa-dosanya diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa dan diberi tempat yang layak disisi-Nya.
Awal mula Tradisi Nyadran Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan tradisi nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar