Selasa, 17 Juli 2012

Komunikasi dan Islam


Komunikasi sebagai salah satu disiplin ilmu sosial mulai berkembang di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an. Tokoh-tokoh yang dianggap pertama kali melakukan studi tentang komunikasi manusia adalah Harold Lasswell, Paul Lazarsfled, Kurt Lewin, dan Carl Hovland.2 Meskipun komunikasi sebagai satu disiplin ilmu kehadirannya belum lama, tetapi perkembangannya begitu pesat, baik sebagai satu disiplin ilmu maupun sebagai skill.
Secara akademik kajian komunikasi terfokus kepada dua pendekatan utama, yaitu pendekatan yang memfokuskan kepada konteks situasional di mana komunikasi itu terjadi, dan pendekatan yang memfokuskan kepada fungsi-fungsi dari komunikasi.3 Dalam konteks situasional, ada enam kajian utama, yaitu: Interpersonal communication, small group communication, language and symbolic codes, organizational communication, public communication, dan mass communication. Sementara itu, dalam konteks fungsi-fungsi komunikasi, di antaranya sosialisasi, negosiasi, konflik, persuasi, dan sebagainya. Jika ditempatkan pada fokus kajian dan penelitian, maka komunikasi global dapat diletakkan pada pendekatan yang kedua, yakni melihat komunikasi dari sisi fungsinya.
Komunikasi global atau komunikasi internasional sebagai satu lapangan studi muncul pada abad ke-20, terutama setelah perang dunia kedua dan memasuki perang dingin. Suasana yang menye-babkan tumbuhnya kajian komunikasi internasional, yaitu: Pertama, adanya konflik, perang dan penggunaan propaganda internasional; Kedua, perkembangan organisasi-organisasi dan diplomasi interna-sional; Ketiga, penyebaran ideologi dan penggunaan komunikasi untuk menyebarkan pesan-pesan ideologi; Keempat, perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih.4 Perkembangan ini semakin pesat terjadi terutama pada tahun 80-an di mana telekomunikasi dan teknologi komunikasi berkembang dengan pesat, munculnya negara-negara maju, dan berkembangnya organisasi-organisasi internasional.
Dalam era informasi, teknologi informasi—disebut juga teknologi intelektual—merupakan kegiatan utama masyarakat. Yang disebut teknologi informasi adalah ways of gathering, storing, manipulating, or retrieving information. Di situ sarana telekomunikasi dan komputer memegang peranan strategis dalam melakukan pertukaran informasi, dan pengetahuan yang sudah diolah, disaring dan dikeluarkan kembali.
Ketiga, di dalam dunia politik, kekuatan (power), baik yang bersifat “hard power”, maupun “soft power”, banyak ditentukan oleh kekuatan yang bersumber dari teknologi dan jaringan informasi.8 Karenanya, tidak heran apabila Thomas L. Friedman, wartawan The New York Times mengatakan jika pada masa perang dingin sebagai warga dunia kita ditakutkan akan adanya serangan nuklir dan perlombaan senjata. Tetapi, pada masa globalisasi ini, kita lebih khawatir akan serangan virus komputer, karena virus komputer dapat merusak sistem pertahanan suatu negara.9
Keempat, terjadinya konflik budaya dan peradaban. Dengan bergesernya peran negara dalam percaturan hubungan internasional, maka aspek kebudayaan menjadi dominan dalam hubungan internasional. Sementara itu, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik, yakni menganggap nilai-nilai budaya sendiri lebih baik dari pada budaya lainnya dan mengukur budaya lain berdasarkan rujukan budayanya. Ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama atau ras lain, kita dihadapkan dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda. Sulit memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Melekat dalam etnosentrisme ini adalah stereotip, yaitu generalisasi (biasanya bersifat negatif) atas sekelompok orang (suku, agama, ras, dsb.) dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.10 Hal ini juga yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntington tentang adanya clash civilizations. Mengkaji tentang nilai-nilai dan tradisi yang ada pada Islam tentunya perlu untuk membongkar dan menganalisis sumber ajaran Islam yang pokok, yakni al-Qur’an dan Hadis. Di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi terdapat banyak keterangan berkenaan dengan adanya komunikasi. Dalam hal ini komunikasi dipahami sebagai sebuah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda.
Dengan pemahaman tersebut, dialog antara Jibril dengan Muhammad ketika pertama kali turun wahyu di Gua Hira dapat dikategorikan sebagai proses komunikasi. Di dalam dialog tersebut, Nabi yang awalnya tidak memahami apa yang ingin disampaikan oleh malaikat Jibril, pada akhirnya memahami dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Jibril yang kemudian dikenal dengan wahyu pertama surat al-Alaq ayat 1-5.
Begitu juga ketika Nabi menyampaikan (menceritakan) peristiwa yang dialaminya kepada Istrinya dan seorang pendeta dapat dikatakan sebagai proses komunikasi. Betapa tidak, cerita yang dikisahkan oleh Nabi kepada isteri dan pendeta begitu jelas dan mendapat respons yang positif dari kedua orang tersebut. Hal ini berarti ada kesesuaian makna yang bisa ditangkap dari komunikator (Nabi) kepada komunikan (Khadijah dan Pendeta).
Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan implikasi negatif terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara (Barat) yang menjadi produsen ilmu tersebut.
Ilmu komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama menyangkut teori dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam tentang komunikasi. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai komunikasi Islam ditandai dengan terbitnya jurnal “Media, Culture and Society” pada bulan Januari 1993 di London. Ini semakin menunjukkan jati diri komunikasi Islam yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu yang dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta perspektif politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam Alquran. Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan Hadis. Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat bersifat premature universalism dan naive empirism. Dalam konteks demikian Majid Tehranian, menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world-view yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim.
Dalam aspek perubahan sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat cenderung bersifat positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan kepada keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting untuk merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber, menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah, manusia dan masyarakat”.
Dalam Islam prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi.
Di samping menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam surah an-Nuur ayat 19 dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”. Sehubungan dengan etika kejujuran dalam komunikasi, ayat-ayat Alquran memberi banyak landasan. Hal ini diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam surah an-Nahl ayat 116: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-Hujurat ayat 6 dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Menyangkut masalah tanggungjawab dalam surah al-Isra’ ayat 36 dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawab-nya”. Alquran juga menyediakan ruangan yang cukup banyak dalam menjelaskan etika kritik konstruktif dalam berkomunikasi. Salah satunya tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Selain itu, prinsip komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana tertera dalam surah an-Nahl ayat 90, berbuat baik (ihsan) dalam surah Yunus ayat 26, melarang perkataan bohong dalam surah al-Hajj ayat 30, bersikap pertengahan (qana’ah) seperti tidak tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada surah al-Baqarah ayat 153, tawadu’ dalam surah al-Furqan ayat 63, menunaikan janji dalam surah al-Isra’ ayat 34 dan seterusnya. Membangun paradigma komunikasi Islam, sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol. Dasaran sintesisnya dapat menggunakan teori-teori komunikasi konvensional (Barat), namun yang menjadi Homework bagi para intelektual Muslim adalah membuat sintesis baru melalui aspek methatheory yang meliputi epistemologi, ontologi dan perspektif. Pembenahan pada aspek dimensi nilai dan etika harus dapat berkolaborasi dengan ketauhidan dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi Islam adalah untuk mewujudkan persamaan makna, dengan demikian akan terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Sedangkan ultimate goal dari komunikasi Islam adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat yang titik tekannya pada aspek komunikan bukan pada komunikator.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar